Pendirian tempat ibadah di Indonesia masih menjadi salah satu penyebab yang dapat mengganggu kerukunan hidup antar umat beragama. Baru-baru ini di Kabupaten Karanganyar telah terjadi insiden penolakan pembangunan rumah ibadah di Desa Gedongan, Kecamatan Colomadu. Walau tidak sampai menimbulkan kerusakan bangunan dan kekerasan fisik seperti halnya di Aceh Singkil, namun kejadian ini sempat mengganggu kenyamanan masyarakat di sekitarnya.
Penolakan pendirian tempat ibadah ini berawal dari kekecewaan sebagian masyarakat terhadap panitia pembangunan Gereja Kristen Pentakosta. Sebagian masyarakat yang merasa panitia tidak transparan saat meminta persetujuan pembangunan gereja membuat mereka marah dan melakukan aksi penolakan. Puncaknya adalah ketika segerombolan orang mendatangi dan memaksa penghentian pembangunan geraja pada Kamis malam, 8/10/2015.
Mengetahui aksi penolakan tersebut, Kementerian Agama yang diwakili pegawai KUA Kecamatan Colomadu beserta aparat keamanaan dan perangkat desa langsung datang untuk memantau kejadian. Alhamdulillah aksi penolakan tersebut berjalan tertib lantaran pihak gereja bersedia menerima tuntutan massa untuk menghentikan sementara pembangunannya hingga ada kesepakatan dengan warga sekitar.
Menindaklanjuti kejadian tersebut, padah hari Senin, 12/10/2015 diadakan rekonsiliasi antar warga yang diwakili oleh Forum Umat Islam Gedongan (FUIG) dibawah pimpinan Sumanto dengan panitia pembangunan Gereja Kristen Pentakosta dibawah pimpinan Pendeta Yusuf. Acara yang berlangsung di balai desa Gedongan tersebut dihadiri berbagai pihak dari Kementerian Agama yang dipimpin Kepala Kantor, Camat Colomadu, pengurus FKUB, Aparat keamanan, perangkat desa serta warga.
Awalnya rekonsiliasi antara pihak gereja dan FUIG berjalan dengan tempo yang cukup tinggi, masing-masing ingin menangnya sendiri. Kemudian Kepala Kankemenag Kabupaten Karanganyar, H. Musta’in Ahmad yang mengetahui duduk persoalannya menyampaikan gagasannya serta menekan agar kedua belah pihak segera membuat kesepakatan bersama. Kakankemenag juga mengatakan dengan tegas bahwa kejadian ini jangan sampai dibawa ke meja hijau, walaupun dari pihak gereja telah mengantongi izin mendirikan bangunan tempat ibadah (gereja).
“Kejadian ini cukup diselesaikan secara kekeluargaan saja, karena bila sampai di bawa ke pengadilan, yang akan repot ya kita semua. Cukuplah kedua belah pihak intropeksi dan jangan kenceng-kencengan. Yang satu agak mengendur sedikit harapannya, dan yang satu juga demikian, sehingga masalah ini akan segera selesai dan kerukunan tetap terjaga”, ucap Musta’in.
Dalam diskusi diketahui bahwa sebenarnya rumah warga yang akan didirikan gereja tersebut sudah terbiasa menjadi tempat peribadatan umat kristiani sejak tahun 2006, dan warga muslim sekitar tidak mempersoalkan hal tersebut. Kemudian yang menjadi permasalahan adalah ketika rumah warga tersebut akan dibangun gereja, dimana menurut FUIG bahwa proses perizinan untuk mendapatkan IMB tidak transparan.
Setelah panjang lebar berdiskusi, akhirnya ditulis surat pernyataan dengan redaksi dari Kakankemenag Kabupaten Karanganyar. Surat kesepakatan bersama yang berisi lima poin tersebut ditandatangani oleh kedua belah pihak dan disaksikan oleh pihak-pihak yang hadir dalam rekonsiliasi tersebut.
Setelah surat kesepakatan bersama ditandatangani, masing-masing pihak berjanji untuk menahan diri dan akan menjaga kerukunan seperti sedia kala sampai proses-proses yang terdapat dalam butir-butirnya dipenuhi. Tentunya umat kristiani yang telah lama menjalankan ibadahnya di rumah warga tersebut tidak akan terganggu seperti halnya sebelum meletusnya kejadian ini. (Hd)